Kabar tegas, Siapakah kau itu sesungguhnya, Corona? Sedang apa dan apa maumu hingga ‘kerasan’ berlama – lama di kampungku, ini? Kenapa kau tak berani menampakkan wajah dan identitas aslimu di depanku meski hanya ‘sak kelebatan’ atau sekejap saja?
Corona, lelaki atau wanitakah kau, itu, sejatinya? Dengan berjalan kaki atau nggremet – kah jika kau sedang ‘dolan’ dan bepergian ke mana–mana, itu? Apakah selera makanmu jika kau lapar warung lesehan, dan apa jenis minumanmu saat kerongkonganmu haus? Kenapa kau lebih suka mendatangi dan bergabung di tengah kerumunan massa yang ‘kemriyek’ itu? Kenapa kamu mandi lebih suka dengan cairan ‘bayclean’? Jawablah, Corona.
Corona, andai selama ini kau bersedia tampakkan wajah dan wujud utuhmu di depan orang–orang di seluruh penjuru kampungku, pasti kau senantiasa diramahtamahi dan dipersilakan ‘welcome’ oleh mereka. Bahkan kau pasti dijamu dengan prasmanan bercita rasa lezat di atas meja panjang dan diperlakukan dengan baik sebagai sedulur, saudara dekat meski kau datang dan berasal dari negeri jauh sana.
Corona, jika hingga hari esok kau enggan, bergeming, ogah menampakkan wujud aslimu di depan warga sekampung di desaku, dan benar–benar abai atau menolak diajak dan tak mau dirangkul sebagai sahabat dekat, itu artinya kau telah ‘njalari’ atau lebih dahulu meniup terompet perlawanan dan menabuh genderang perang melawan orang–orang jengkel di smart kampungku.
Kejengkelan warga di kampungku atas ketidak bersahabatmu selama ini benar–benar memporak porandakan tatanan sosial, tradisi–tradisi, budaya–budaya, dan kearifan lokal yang tumbuh sejak lama di kampung halamanku. Bahkan ritualitas keagamaan yang telah menjadi nafas kehidupan di kampungku telah kau ‘acak–acak’, kau cincang hingga terbelah pecah, terberai hingga berkeping–keping.
Corona, tunjukkan batang hidungmu jika kau benar–benar pejantan tangguh dan di manakah hari ini kau bersembunyi diri? Berbaju warna apakah kau sesungguhnya? Hitam atau putih, hijau, kuning, atau merahkah?
Corona, hingga seberapa lama kau berkeliaran menciptakan hororisme, enjit–enjiten, dan ketakutan yang amat sangat hingga traumatik di tengah–tengah tradisi berkedamaian warga di kampungku?
Corona, hampir setiap pagi, siang, sore, hingga malam kami warga se kampung tak pernah henti menghalaumu, mengusirmu dengan target menyemprotmu dengan bertanki – tanki ‘bayclean’ di seluruh sudut dan pojok–pojok yang paling ‘nyelempit’ sekali pun di kampungku.
Pertanyaannku, sesungguhnya dengan aksi semprot itu kau telah matikah? Atau jangan–jangan kau justru ‘ngguya–ngguyu’ terbahak–bahak sembari mengejek orang – orang di kampungku?
Corona, karena ulah culasmu itu, kami warga se – kampungku menjadi takut berinteraksi sesama warga dan menjaga ‘jarak tanam’, sehingga bocah–bocah usia sekolah ‘dipaksa’ harus belajar dari rumah via online yang sesungguhnya justru menambah cost biaya kuota pemakaian pulsa. Bukankah semua itu gara–gara kelakuan usilmu selama ini?
Dan, larangan itu ditambah lagi harus bekerja dari rumah, padahal teramat banyak warga di kampung kami yang cara ‘golek urip’ nya sebagai pekerja informal yang mengais dan dapat rejeki hari ini hanya untuk makan hari ini, perkara makan untuk esok itu urusan pagi besok.
Apakah otak, logika dan nuranimu yang paling nurani itu tak pernah berpikir bahwa konsekuansi ‘melarang’ itu seharusnya harus dicari jalan keluar dan solusi terbaiknya terhadap orang–orang yang ‘dilarang’ itu? Ojo mek isone melarang–larang saja agar bekerja di rumah tetapi tidak dikompensasikan apa pun sebagai ganti ‘isi perut’ dengan layak agar kami tidak ‘kelaparan’ dan sekarat di dalam rumah. Semua itu gara–gara ulah pengecutmu, itu, Corona.
Dan, kekurangajaranmu itu semakin naik di ubun–ubun warga se kampungku. Semakin hari tensi darah seluruh warga di kampungku semakin meninggi karena kebrengsekanmu. Betapa tidak, lha wong acara kenduri yang telah mentradisi di kampungku itu saja harus ‘dilarang’ dan ditiadakan dengan dalih bukan melarang kendurinya, tetapi menghindari terjadinya kerumunan massa yang uyel–uyelan ketika acara itu berlangsung. Apalagi jika kegiatan itu harus berlangsung ‘berjamaah’, pasti harus ditiadakan demi memotong metamorfosa hidup Coronavirus.
Pertanyaannya, kami seluruh warga se kampung ini terus pye dan harus bagaimana dan sampai hari kapan agar tidak ‘dilarang-larang’ lagi? Sementara suara–suara himbauan yang terdengar di corong–corong birokrasi itu agar kami disuruh mendisiplinkan diri jaga ‘jarak tanam’ dan jarak sosial agar wabah Coronavirus itu terpotong rantai hidupnya. Kemudian ketika wabah Coronavirus itu butuh penggelontoran dana atas imbasnya ke warga, bisa jadi muncul dana yang ‘diselipin’ oleh para oknum yang hobinya suka melarang-larang, itu.
Bukankah sesungguhnya kami warga se-kampung juga telah ‘terpotong’ rantai kehidupannya ketika diwajibkan belajar, bekerja, dan beribadah dari rumah?
Corona, tampakkan wajah dan wujud aslimu jika kau tak ingin tergelepar, terkapar, dan modar di trotoar? Bersegeralah berkemas–kemas, dan angkat koper pulang ke negaramu. Tinggalkan kampung kami yang sejak dulu penuh canda, tawa ceria, dan sarat kedamaian sepanjang hari.
#herucahyo#

